Pencuri bayangan



                Jejak kaki ini kian memudar, tak menyisakan apapun seperti kamu yang hingga kini menghilang dalam lembaran cerita baru. Waktu selalu berusaha menyembuhkan luka lama itu, di datangkannya berbagai macam manusia untuk bersaing merebut singgahsana mu dalam diriku, ah bukan diriku rupanya hanya sebagian darinya yaitu hati dengan sejuta perasaan. Kelemahan terbesar ku adalah tak mampu memperjuangkan apa inginnya hati, hanya mampu menenangi dengan berbagai macam cara.

                Kata orang semua yang telah berakhir biarkan saja berakhir, jangan terlalu larut di dalamnya. Kamu masih punya halaman-halaman kosong yang seharusnya ditulis kisah-kisah baru yang indah. Bagiku tak segampang itu menggantikan perangainya yang sederhana dalam menyayangi. Namun belakangan ini aku sadar ada orang lain yang diam-diam mampu duduk di singgahsana yang telah lama kosong itu. Dia hadir dengan kesederhanaannya, lewat pertemuan-pertemuan kecil kita, lewat canda dan tawa yang tak pernah lepas mengiringi dan lewat mimpi-mimpi yang terus dijadikan kenyataan.

                Jika diingat kembali rupanya sudah hampir dua tahun kenangan ini terus melekat membentengi ku. Menjaga apa yang telah hilang adalah bentuk kesia-siaan. Tapi aku percaya bahwa tak ada yang sia-sia dari tak melakukan apa-apa. Entah sejak kapan bayangan yang terus mengikuti kini hilang bak menyerah karena lelah mengikuti diriku. Namun disaat yang sama pula siluet hitam lainnya muncul mengikuti.

                Aku tak pernah tahu rasa ini akan muncul, bukankah seharusnya kamu tahu? Bahwa rasa tak pernah bisa kita prediksi. Ia bisa datang kapan saja, dimana saja dan pada siapapun. Dan ku umumkan bahwa rasaku ini tertuju padamu. Sempat aku berfikir kala itu bahwa takan pernah ada lagi lelaki sepertinya, takan pernah ada lagi tangan lembutnya yang mempu menghipnotis ku dari ujung kepala hingga ujung kaki, takan pernah ada lagi senyuman hangat itu yang selalu membuatku ingin meghentikan waktu.

                Dan kamu, kamu, kamu!!! Ternyata mampu merebut singgahsana itu dengan jelmaan yang berbeda. Entah ini sebuah anugrah atau malampetaka. Ternyata kamu hadir bukan untuk menetap disinggahsana yang telah kau curi, tapi kamu hadir hanya untuk menyadarkan ku bahwa singgahsana itu kosong dan seharusnya aku sadar dan melihat itu memang kosong tanpa ada bayangan disana. Bolehkah aku memintamu untuk tetap tinggal? Ah rasanya tidak mungkin. Setiap kata yang terangkai dari mulutmu memang ditakdirkan hanya untuk menguatkanku, membantuku bangkit dari lumpur hidup yang menyimpan sejuta kisah. Setiap sentuhan tanganmu ditakdirkan untuk menopangku dikala aku terombang ambing diantara melepas dan mencari, tidak ditakdirkan untuk memeluk dan memberiku kehangatan abadi. Langkah kakimu ditakdirkan untuk memberiku jalan keluar dari luasnya pohonan rimbun yang kuat mengakar hingga menancap ke palung hati terdalam yang karenanya aku jadi tersesat dan hilang arah, langkah kakimu tak ditakdirkan untuk berjalan beriringan menemani setiap langkahku.

                Ingatkah kamu pada perjumpaan kita yang tak disengaja? Kita rajut mimpi untuk pertama kalinya, dan kamu mewujudkannya dengan indah. Entah aku yang memang perasa atau kamu yang memang tidak ingin ada rasa. Sejak mimpi itu terwujud kamu genggam tangan ini menuntun untuk memasuki dimensi mu, berkenalan dengan sahabat-sahabat terbaikmu, berkenalan pada kebiasaan-kebiasaanmu, serta berkenalan dengan hidupmu. Bodoh!!! Kamu memang hanya ingin memperkenalkan ku pada pelajaran baru, pelajaran dimana aku takan pernah tau jika hidupku masih begitu-begitu saja terjebak dalam zona nyaman.

                Masih terekam jelas kalimatmu yang membuatku kecewa juga takut. Saat itu kamu berkata “Tenang saja, dia gak tahu kok”, sebuah kalimat yang membakar dada. Aku tahu bagaimana perempuan merasa, aku tahu bagaimana perempuan ingin diberi sikap, aku tahu bagaimana perempuan ingin kesetiaan dilandaskan rasa percaya. Ah, mengapa saat itu harus terlintas wajah perempuan itu di benak ku? Dia melintas disaat yang tidak tepat. Mungkin karena naluri perempuan yang masih ada dalam aliran darahku hingga tak tega hati jika harus melihatnya menangis hanya karena diriku yang amat terangat sangat bodoh ini. Perempuan itu yang kini dan memang pernah dijadikan rumah untuk mu pulang.

                Tahukah kamu? Ketika tangkapan gambar usang itu kamu pertontonkan dikhalayak ramai, saat itu juga hatiku harus hancur kedua kalinya. Sempat ku bertanya “Lantas untuk apa kita berjalan menyusuri jarak yang dapat dibilang panjang tapi ujung-ujungnya kamu pamit untuk kembali kerumah?”. Masih terekam sangat jelas ketika kamu memarahi ku karena aku yang terlampau banyak istirahat di jalur, kamu yang meledek diri ini ketika jurus perempuan yang ku punya dikeluarkan, kamu yang memasang wajah khawatir ketika badan ini menunjukan tanda-tanda tak biasanya dan memperlakukan ku bak tuan putri yang musti diajaga extra, kamu yang selalu mengajarkan ku teknik memperoleh pertemanan abadi di jalur pendakian, kamu yang membuatku bersyukur dalam keadaan tersesat di hutan blantara, dan kamu yang mampu membuatku percaya untuk dapat membuka segel hati yang telah lama membelenggu.

                Mungkin hanya kata “Rindu” yang ingin ku sampaikan saat ini. Walau takan pernah bisa dibisikan ketelingamu atau berteriak di dekatmu, tapi rindu ini ku yakin kamu pernah merasakannya walau dengan kemungkinann terkecil. Bebahagialah atas kepulanganmu (lagi) kerumah yang sempat kamu abaikan beberapa waktu kala itu. Biarkan aku disini menahan luka baru yang kamu tinggalkan, setidaknya belenggu terlama dihidupku ini telah menghilang.

Teruntuk kamu yang mempu memporakporandakan dimensiku, aku rindu kamu teramat sangat. Rindu langkah kaki kita yang tak pernah diam, rindu rangkaian kisah yang mampu kurekam dengan mata hati dan mata orak,rindu kamu yang selalu muncul di layar handphone ku.

Komentar