A: “harus berapa kali sih aku bilang sama kamu? Selama aku
dikampung semua kegiatan aku tuh gak terjadwal. Apa aja mendadak. Disuruh ini,
disuruh itu, harus kesana, harus kesini dan banyak suruhan yang lainnya. Ngertiin
lah, toh aku dikampung gak lama cuman sebulan, nanti juga balik lagi ke Jakarta
dan lebih lama tinggal disana.”
F: “Iya, tapi kamu online dan chat aku gak dibales”
A: “Yastagaaaa…. Aku pas chat kamu tadi lagi disuruh terus
aku geletakin aja hapenya, gak aku keluarin wa nya”
F: “iyah, maaf. Tapi kemarin kamu setengah jam online tanpa
bales. Aku tau hape kamu cepet matinya dan gak ada mode layer hidup lama. Mana ada
setengah jam online kalua gak chatan juga sama yang lain, atau apapun yang kamu
liat”
A: “Terserah deh ya, kamu mau anggep aku gimana. Silahkan
kamu bebas berprasangka sama aku. Aku bingung jelasin ke kamu yang gak mau
ngerti”
Kali kedua
kepulangannya ke kampung halaman, ada rasa rela dan tak rela. “Ikhlas” adalah satu
kata yang patut dipertanyakan dalam hati ini. Bukan salahnya jika harus kembali
ke kampung, toh sebelum mengenalku memang dia lahir dan besar disana. Pertemuanku
dengannya adalah sebuah kebetulan bagi kami yang telah direncanakan oleh
semesta. Mengenalnya adalah sebuah coba-coba yang menjelma menjadi sebuah
kewajiban. Memang bukan hak ku untuk mengetahui segala apapun yang dia lakukan,
memang bukan hak ku untuk mengetahui siapa saja yang ia temui disana dan perihal
apa pertemuan itu terjadi.
Salahkah
aku? Bila aku merindukannya? Salahkan aku jika aku minta satu jam saja setiap
hari dia sediakan waktu untuk ku, benar-benar hanya untuk ku. Dahulu tanpanya
aku menjelma menjadi sesorang yang suka mengambil kegiatan ekstrim, ikut sana
sini agar dapat menyibukan diri sesibuk-sibuknya. Kini kedua kalinya ku
mengenal dia setelah yang lama usai, kembali lagi ku menjadi diam dalam zona
nyaman. Bukan takut untuk mengikuti hal-hal ekstrem lagi hanya saja kehilangan
arah untuk apa aku mengikuti hal tersebut.
Kamu
yang memaksa masuk dalam kehidupan ku, setelah sekian kata ku lontarkan padamu
agar kamu menjauh, setelah sekian prilaku yang ku lakukan padamu agar kau berhenti
berharap padauk. Kini semuanya berbalik, aku yang dahulu tak ingin di ganggu
dengan hadirmu sekarang justru kamu yang mulai menjauh dan rishi atas kehadiran
ku. Jika hadirmu hanya untuk singgah, lantas mengapa meyakinkan ku sedemikian
rupa?. Jika rasamu hanya sebatas penasaran lantas mengapa kamu berjuang
sedemikian rupa?
Entah
aku yang memang keterlaluan manja dan childist atau kamu yang memang sengaja
mundur perlahan?
Komentar
Posting Komentar