tentang BAN


Sudah dua kali kami terjebak dalam suasana tak menyenangkan, raut wajahnya yang selalu menampakan ketidak sukaan terhadap suasana seperti ini. Getaran yang tiba-tiba datang memaksa kami harus menepi dari jalanan yang padat lalu lalang namun jarang tambal ban. Sekian kali ku hadapai peristiwa ini, dan dua kali bersamanya. Penyebabnya bukan paku maupun benta tajam lainnya, tapi karena ban yang kemps tapi tak dapat perhatian dari sang pemilik kendaraan, jadilah dia ‘ngambek’ dan membuat perjalanan menjadi goyang.

Kali kedua tepat malam ini, kami kembali terjebak dan harus menepi. Mencoba bertanya kesana kemari namun memang tukang tambal ban cukup jauh dari tempat kami berada. Harus lawan arah, ku ikuti langkahnya dengan kaki ku, sementara ia membawa motor pelan. Tiba ditempat yang di tunjukan ternyata nasib berkata lain, kami terlambat dan tambal bannya sudah tutup. Bertanya lagi dengan warga sekitar, katanya cukup lumayan jika ditempuh jalan kaki, tapi kami tetap mengikuti sarannya. Berjalan lagi mencari tukang tambel ban, hingga di ujung jalan kami tak menemukannya satupun. Kembali ke jalur titik awal kami berangkat, mungkin karena saking lelah dan kesel, dia memutuskan untuk menepi sejenak menenangkan fikiran yang terus mengutuk tentang keadaan saat ini.

Setengah jam berlalu kami tak kunjung bergerak dari tempat tepian. Aku yang mulai ketar ketir karen waktu yang terus menyeret ke tengah malam, dan juga bingung akan melakukan apa di pinggir jalan seperti ini. Motor dan mobil terus melewati kami, kadang macet kadang lancar. Aku dengan nada hati-hati ku beranikan diri untuk bertanya ‘akan ngapainkah kita sekarang?’. Aku tak ingin terjadi keributan di pinggir jalan seperti ini, tingkat ‘bete’ nya yang sudah mencapai tingkat maksimum mudah sekali disulut oleh amarah. Tepat di pertanyaan ku yang ketiga, ia mulai berdiri, melihat sekitaran sejenak dan kembali melanjutkan perjalanan dengan pelan. Ku ikuti kembali arahnya, kali ini nasib berbaik hati pada kami. Terpampang jelas sebealh kiri jalan tulisan “Tambal Ban”. Ku ucap syukur dalam dada dan ku lihat dia yang sudah memarkirkan motor ku depan tukang tambal ban. Ditinggalnya aku dan si abang tukang tambal ban, entah dia sedang mencari apa tapi sepertinya dia sangat kehausan dan tak ingin minum hanya sekedar air mineral yang tanpa rasa.

Tepat ketika punggungnya tak lagi kelihatan oleh ku, tukang tambal ban menyayangkan karena motor yang sedang bocor bannya itu tetap di tunggangi hingga ke tukang tambal ban. Pentil motorku terlepas dari ban dalamnya, sehingga tak ada pilihan lain selain ganti ban dalam. Aku yang bingung menjawab apa karena harga yang ditawarkan jauh dari kemampuan dompetku, akhirnya hanya bisa menunggu kedatangannya. Dia datang tak lama dari dalam perumahan, ku lihat dari raut wajahnya dia tak mendapatkan apa yang dia cari. Dengan cepatnya dia menjawab “yaudah ganti aja bang ban nya”. Aku hanya bisa mengikuti keputusannya, karena memang tak ada pilihan lain. Mendorong motor dari pasar minggu hingga pasar ciputat tengah malam begini pun rasanya tak mungkin. Ku dekati dia dan berkata dengan sangat hati-hati “tapi uang ku tak cukup untuk bayar ban baru yang segitu”. Dia memandang kea rah ku sekilas, lalu menatap kembali motor yang sedang diperbaiki. Ku cukupkan kalimatku, ku terjemahkan diamnya sebagai tanda bahwa dia sedang tidak ingin di ganggu dan diajak ngobrol, maslah uang biarlah dia yang menanggung. Setelah beres dengan ban, kami pun bergegas meninggalkan tukang tambal ban dan kembali menepi sebelum arah putar bali.

Dia turun dari motorku dan menyuruhku untuk segera pulang, ku berniat mengantarkannya hingga rumah karena memang sudah tengah malam gini dan jaraknya lumayan jauh. Tapi bentakan yang keluar dari mulutnya untuk ku segera meninggalkan tempat itu, mungkin dia sudah terlalu kesal melihat wajahku. Aku yang ingin sekali membantu, hanya bisa menurut apa yang dia perintahkan. Sudah malam begini aku tak ingin kami rebut dipinggir jalan, dan memperburuk suasana hatinya. Ku pacu motorku hingga tepat pukul 22.30 aku sudah berada dirumah. Langsung ku kabari dia bahwasanya aku sudah sampai, namun dia tak merespon, mungkin memang itu kabar yang tak penting menurutnys. Ku tanya dia sudah berada dimana, naun nihil jawaban hanya centang biru yang tertera di layar telepon genggamku. Aku ulangi mengirim pesan ke dia tiap jeda lima menit, dia yang risih akhirnya membalas sekadarnya. Ternyata pukul 00.00 pun dia masih berada dalam perjalanan, dan hingga saat ini aku belum menerima titik keberadannya lagi.

6 oktober 2019, 00.05


Komentar