Tentang DI(A) #2


Semesta menyatukan ku kembali engan di(a) dengan kisah tak sama dari sebelumnya.

            Sungguh aku tidak tahu apa maksud dari semuanya, kebersamaan ini terasa sangat asing. Aku yang sakit karena membandingkan kamu yang dulu dengan yang sekarang, sedangkan kamu menjelma menjadi orang asing yang kian lama kian tak ku kenali. Apakah memang jalannya harus seperti ini? Ada kamu dalam doa yang selalu aku aminkan, tapi mengapa Tuhan menguji ku dengan keraguan terhadapmu? Saat ini mendamba kehadiranmu adalah suatu yang menjadi hobi baruku, semestaku dengan mu perlahan harus hancur. Mungkin hanya aku yang merasa demikian, dirimu tidak.

            Kamu tau? Dulu waktu kita awal deket. Sekedar chatan dan menanyakan kabar, sering dan intens. Kamu mendampingiku melewati hari-hari rumit yang bikit kepala cekat cekit. Sembari nugas kamu menemani dalam suara, kita mengobrol panjang lebar, kamu menceritakan kisahmu dengan keseharianmu, akupun juga melakukan hal yang sama. Kita sama-sama menunggu malam untuk saling bertukar cerita dan saling mendengarkan cerita. Banyak topik yang bisa kita perbincangkan dahulu, hingga akhirnya kita memutuskan untuk sering ketemu dan bisa ngetrip bareng. Awal mula yang indah memang.

            Lantas selang beberapa bulan, masalah kian datang. Aku dan kamu sering terlibat dalam perselisihan, saling mengagungkan ego masing-masing. Hingga tiba dititik kita sama-sama menyerah untuk berselisih paham dan memutuskan untuk pisah. Aku yang masih kental dengan egoku begitupun kamu, merubah semesta kita. Kini bagaikan orang asing yang hanya bertanya pertanyaan-pertanyaan formalitas.

            Hingga detik ini, aku masih sukar sekali menebak apa yang kamu rasa, kadang diri bisa ikhlas menerima keadaan kadang juga sakau seperti orang kehilangan candu nya. Tak kenal waktu, kapanpun diri ini bisa berubah dengan cepat. Bagaimana? Bagaimana aku harus meminimalisir efek sakau candu kehadiranmu? Bagaimana aku bisa meluapkan segala energi negative dalam tangisanku?. Karena memang dengan mu semua rasa sakit terkumpul dalam dada, tak terusik keluar, menggerogoti rasa dan keyakinan, menjelma sesak yang berkepanjangan. Aku tak tau harus apa.

            Mungkin aku butuh teman untuk meminimalisir efek candu kehadiranmu, tapi semesta belum mau memberiku teman untuk menggantikan kebiasaanmu. Aku tak punya pilihan selain merasakan sesak yang meyesakkan, aku memang percaya waktu selalu bisa menyembuhkan. Tapi aku tak tahu harus berapa lama aku berada dalam zona yang seperti ini.


Komentar