Tentang DI(A) #3



Kemarin hariku terasa lebih damai dari hari-hari sebelumnya, ku berusaha sekuatnya untuk tidak memperdulikanmu lagi. Semalam sebelumnya kamu menelfon kita berbincang selama kurang lebih satu jam, namun setelah perbincangan kita usai kamu memblock nomor ku tanpa alasan. Kau tau betapa bingungnya aku saat itu? Apa salahku?. Tidurku selalu terjaga memikirkan hal itu, ada rasa sakit yang sangat menusuk di dada yang aku tidak tahu bagaimana untuk meredakannya. Aku sendiri, menghadapi semuanya sendiri hanya mampu menikmati segala rasa yang datang.

Ku biarkan diriku keluar dari kamar yang membuat sesak karena terlalu banyak ingatan tentangmu, ku pacu diriku keluar mencari seseorang yang mampu mengalihkan fikiranku darimu. Aku berhasil melewati hari kemarin dengan segala senyum dan canda tawa. Kau tahu? Sejak kepergianmu kemarinlah hari terdamai yang selama ini hilang. Sudah aku sudah bisa terbiasa tanpamu, tanpa ada perhatian darimu, tanpa ada kabarmu tanpa tahu kamu sedang apa dan dia sedang apa. Sejak kamu memutuskan memblokirku malam itu, kontakmu dan kontaknya terhapus dalam telfon genggamku.

Aku sudah berusaha berjuang dan memperbaiki diri, aku akan berjuang untukmu jika memang kita masih layak untuk diperjuangkan. Tapi kamu memilih melibatkan hati yang lain dalam peliknya kita, aku tidak bisa berbuat apa-apa jika ada hati yang lain yang turut serta. Entah kini hatimu sedang merasa apa, bagiku sosok orang ketiga yang kamu bawa dalam pelik kita membuatku memantapkan diri untuk mundur. Bukan karena aku tak mampu dan mau untuk memperjuangkan kita, hanya saja aku tak ingin ada hati lain yang turut merasakan perihnya. Aku tahu bagaimana sakitnya jika ada duri yang menancap dalam suatu hubungan, dan aku tidak pernah mau untuk menjadi duri itu.

Walaupun kini aku harus menata kembali rumah yang telah kamu tinggalkan, tak apa. Aku hanya ingin menghormati tamu ku yang kelak akan datang, sebagai tuan rumah wajib bagiku menyiapkan tempat terbaik bagi tamu manapun. Mungkin memang cara menyembuhkan luka mu harus dengan orang lain, ya itu pilihan kamu. Berat untuk ku bicara padamu perihal “Jaga dia, berusahalah untuk jujur dan tak banyak membohonginya seperti apa yang kamu lakukan terhadapku dulu”, ada hati yang harus ku pendam rasa sakitnya untuk mengucapkan sepenggal kalimat itu.

Setelah kemarin aku berhasil melewati siang dengan rasa damai yang aku rindukan, tanpa berharap kamu akan menghubungiku hari itu, ternyata semesta berkata lain. Ketika hari hampir berganti, dering panggilan darimu berbunyi. Kita berbincang selama kurang lebih dua jam, kamu membuka rasa sakitmu yang kamu pendam terhadapku, katamu kamu memang sengaja memendam semuanya karena kamu melakukan itu semua untuk kebaikanku. Tapi bagiku apa yang kamu tutupi selama ini dan di ungkap setelah kamu sudah berdampingan dengan yang baru (padahal baru beberapa hari kita pisah) adalah hal yang menyakitkan untuk di dengar. Aku lebih bisa ikhlas nerima ketika kamu membuka semuanya saat kejadian itu berlangsung, aku lebih rela kamu marahin saat itu juga, kamu ambekin saat itu juga daripada aku harus mendengar seuanya di akhir apalagi setelah kamu sudah berdampingan dengan yang baru.

Luka yang aku abaikan dihari kemarin harus terbuka lagi dan kamu siram air garam yang membuatnya semakin perih terasa hingga siang ini saat ku ketik kata per kata di ruangan 3x4 m ini. Tentangmu yang kemarin telah beranjak dari ingatan, malamnya harus melekat kembali dalam ingatan ini, semesta kembali terfokus kepadamu. Entah kamu memang benar benar ada rasa atau hanya suka mendapatkan perhatian dari berbagai wanita, hadirmu kadang ku nanti namun di sisi lain hadirmu dapat membuatku merasakan luka itu kembali. Aku tak tahu kapan aku bisa pulih lagi seperti sedia kala, aku tak tahu kapan aku bisa melepasmu dengan rela, dan aku tak tahu bagaimana aku bisa mengingatmu dengan sebuah senyuman tanpa disertai rasa sakit.

23.30 wib. Selasa, 14 Januari 2020

T: “Kamu tau? Beberapa rasa sakit atas perlakuan mu ku pendam sendiri dalam-dalam, karena apa? Karena kamu sendiri yang bilang ‘aku udah capek kalau kita harus berantem terus’, aku hanya ingin menuruti kata-katamu. Aku hanya tidak ingin menghilangkan senyum mu saat kita sedang bersama, biarlah aku yang tersakiti akan sikapmu.”

L: “Aku tahu, aku tahu kapan kamu bohong dan kapan kamu jujur. Satu kelemahan ku, aku gak bisa mengungkapkan kejujuran disaat itu juga, butuh waktu berbulan bulan untuk membongkar semuanya ”

T: “Engga, kamu gak sehebat itu baca aku. Gak semua hal kamu bisa tau kapan aku bohong dan kapan aku jujur. Tapi aku akui kamu memang sangat jago merasakan kebohongan dan kejujuranku tentang dengan siapa aku berinteraksi. Dari dulu, aku tau kamu paling gak bisa dibagi perhatian dari orang-orang yang sudah kamu jadikan prioritas dan kamu sayang. Tapi dunia gak bekerja hanya untuk kamu, gak semua perhatian hanya untuk kamu. Aku tau kamu selalu bisa bongkar kebohongan aku kalau aku chatan atau dekat dengan orang lain, kamu selalu bisa merasakan itu. Aku tahu kamu orangnya jujur dengan keadaan, tapi satu kelemahan kamu dimata aku. Ego kamu tinggi, kamu sendiri yang bilang kamu selalu butuh penjelasan, tapi apa? Ketika aku udah berusaha menjelaskan kamu gak nyaring itu. Ibarat kata kamu dikasih makan nasi, kamu makan dan turun kelambung lalu dikeluarkan langsung dalam bentuk nasi tanpa ada proses pencernaan apapun. Iyah, aku tahu kamu selalu mendengarkan apa yang aku jelasin, tapi nyatanya kamu gak nyaring yang aku jelasin. Semua penjelasan aku gak ada nilainya di mata kamu, cuman ego kamu dan apa yang ada difikiran kamu yang punya nilai.”

L : “………”

T : “Kamu tau? Sakit yang kurasakan berulang adalah ketika kamu membahas kembali masalah yang telah lalu. Ku kira ketika aku sudah menjelaskan dan kamu sudah bilang ‘iya’ artinya masalah kelar saat itu juga tapi ternyata tidak. Dikemudian hari kamu kembali mengungkit masalah yang sama, sebelum fikiran kamu dibenarkan oleh semuanya kamu gak berhenti untuk mengungkit masalah yang udah aku anggap angin lalu. Belajarlah, mungkin emang kisah kita sudah harus berakhir, kita kembali menjadi teman seperti dahulu. Kita pernah mencoba ada dalam satu kisah yang sama walau akhirnya kita harus berbeda kisah dengan membawa pengalaman-pengalaman yang lalu untuk menjadi bahan pelajaran untuk orang selanjutnya. Aku mungkin udah gak bisa lagi disamping kamu, mendampingi kamu melewati hari-hari, tapi aku selalu disini, ketika kamu butuh teman cerita, ketika kamu ingin pergi ke suatu tempat jangan sungkan untuk menghubungiku, aku akan usaha untuk ada buat kamu walau posisiku kini ada dibelakang kamu. Janji ya, kita gak akan jadi musuh, kan kamu yang bilang ‘aku gak mau musuhan sama mantan lagi kaya yang lalu’, dan aku disini untuk nurutin apa mau kamu. Janji ya, kita bisa jadi temen lagi dan aku masih boleh nelfon kamu lagi.”

L : “iyah”

T : “Maaf ya, maaf atas segala kebohongan yang aku tutupin selama ini, maaf aku baru bisa ungkap semuanya sekarang yang menurut aku ini waktu yang tepat untuk aku ungkapin semuanya sama kamu, ya walau belum semuanya. Maaf ya”

L : “Aku juga minta maaf, dan TERIMAKASIH”

T : “Terimakasih untuk apa?”

L : “Terimakasih kamu sudah menjaawab banyak pertanyaanku”

T : “Tapi yang tadi aku omongin gak ada di pertanyaan kamu”

L : “Memang, aku gak pernah melontarkan pertannyaannya langsung ke kamu. Tapi ini pertanyaan 3 tahun yang lalu dengan dia. Dan saat ini kamu menjawab banyak pertanyaan yang muncul saat itu. Terimakasih, terimakasih atas segala penjelasan verbalnya. Penjelasan yang tidak hanya bisa ku mengerti tetepi juga penjelasan yang mampu aku dengar langsung menggunakan telinga ini. TERIMAKASIH”

01.23 wib. Rabu, 15 Januari 2020.
Maaf jika harapku menggema di angkasa, biarlah aku berserah pada pemilikmu.

Komentar