Kemarin
hariku terasa lebih damai dari hari-hari sebelumnya, ku berusaha sekuatnya untuk
tidak memperdulikanmu lagi. Semalam sebelumnya kamu menelfon kita berbincang
selama kurang lebih satu jam, namun setelah perbincangan kita usai kamu memblock
nomor ku tanpa alasan. Kau tau betapa bingungnya aku saat itu? Apa salahku?.
Tidurku selalu terjaga memikirkan hal itu, ada rasa sakit yang sangat menusuk
di dada yang aku tidak tahu bagaimana untuk meredakannya. Aku sendiri,
menghadapi semuanya sendiri hanya mampu menikmati segala rasa yang datang.
Ku
biarkan diriku keluar dari kamar yang membuat sesak karena terlalu banyak
ingatan tentangmu, ku pacu diriku keluar mencari seseorang yang mampu
mengalihkan fikiranku darimu. Aku berhasil melewati hari kemarin dengan segala
senyum dan canda tawa. Kau tahu? Sejak kepergianmu kemarinlah hari terdamai
yang selama ini hilang. Sudah aku sudah bisa terbiasa tanpamu, tanpa ada
perhatian darimu, tanpa ada kabarmu tanpa tahu kamu sedang apa dan dia sedang
apa. Sejak kamu memutuskan memblokirku malam itu, kontakmu dan kontaknya
terhapus dalam telfon genggamku.
Aku
sudah berusaha berjuang dan memperbaiki diri, aku akan berjuang untukmu jika
memang kita masih layak untuk diperjuangkan. Tapi kamu memilih melibatkan hati
yang lain dalam peliknya kita, aku tidak bisa berbuat apa-apa jika ada hati
yang lain yang turut serta. Entah kini hatimu sedang merasa apa, bagiku sosok
orang ketiga yang kamu bawa dalam pelik kita membuatku memantapkan diri untuk
mundur. Bukan karena aku tak mampu dan mau untuk memperjuangkan kita, hanya
saja aku tak ingin ada hati lain yang turut merasakan perihnya. Aku tahu
bagaimana sakitnya jika ada duri yang menancap dalam suatu hubungan, dan aku tidak
pernah mau untuk menjadi duri itu.
Walaupun
kini aku harus menata kembali rumah yang telah kamu tinggalkan, tak apa. Aku
hanya ingin menghormati tamu ku yang kelak akan datang, sebagai tuan rumah wajib
bagiku menyiapkan tempat terbaik bagi tamu manapun. Mungkin memang cara
menyembuhkan luka mu harus dengan orang lain, ya itu pilihan kamu. Berat untuk
ku bicara padamu perihal “Jaga dia, berusahalah untuk jujur dan tak banyak
membohonginya seperti apa yang kamu lakukan terhadapku dulu”, ada hati yang
harus ku pendam rasa sakitnya untuk mengucapkan sepenggal kalimat itu.
Setelah
kemarin aku berhasil melewati siang dengan rasa damai yang aku rindukan, tanpa
berharap kamu akan menghubungiku hari itu, ternyata semesta berkata lain.
Ketika hari hampir berganti, dering panggilan darimu berbunyi. Kita berbincang
selama kurang lebih dua jam, kamu membuka rasa sakitmu yang kamu pendam
terhadapku, katamu kamu memang sengaja memendam semuanya karena kamu melakukan itu semua
untuk kebaikanku. Tapi bagiku apa yang kamu tutupi selama ini dan di ungkap
setelah kamu sudah berdampingan dengan yang baru (padahal baru beberapa hari kita pisah) adalah hal yang menyakitkan untuk di dengar. Aku lebih bisa ikhlas nerima
ketika kamu membuka semuanya saat kejadian itu berlangsung, aku lebih rela kamu
marahin saat itu juga, kamu ambekin saat itu juga daripada aku harus mendengar
seuanya di akhir apalagi setelah kamu sudah berdampingan dengan yang baru.
Luka
yang aku abaikan dihari kemarin harus terbuka lagi dan kamu siram air garam
yang membuatnya semakin perih terasa hingga siang ini saat ku ketik kata per
kata di ruangan 3x4 m ini. Tentangmu yang kemarin telah beranjak dari ingatan,
malamnya harus melekat kembali dalam ingatan ini, semesta kembali terfokus
kepadamu. Entah kamu memang benar benar ada rasa atau hanya suka mendapatkan
perhatian dari berbagai wanita, hadirmu kadang ku nanti namun di sisi lain
hadirmu dapat membuatku merasakan luka itu kembali. Aku tak tahu kapan aku bisa
pulih lagi seperti sedia kala, aku tak tahu kapan aku bisa melepasmu dengan
rela, dan aku tak tahu bagaimana aku bisa mengingatmu dengan sebuah senyuman
tanpa disertai rasa sakit.
23.30 wib. Selasa, 14
Januari 2020
T: “Kamu tau? Beberapa rasa
sakit atas perlakuan mu ku pendam sendiri dalam-dalam, karena apa? Karena kamu
sendiri yang bilang ‘aku udah capek kalau kita harus berantem terus’, aku hanya
ingin menuruti kata-katamu. Aku hanya tidak ingin menghilangkan senyum mu saat
kita sedang bersama, biarlah aku yang tersakiti akan sikapmu.”
L: “Aku tahu, aku tahu
kapan kamu bohong dan kapan kamu jujur. Satu kelemahan ku, aku gak bisa
mengungkapkan kejujuran disaat itu juga, butuh waktu berbulan bulan untuk
membongkar semuanya ”
T: “Engga, kamu gak
sehebat itu baca aku. Gak semua hal kamu bisa tau kapan aku bohong dan kapan
aku jujur. Tapi aku akui kamu memang sangat jago merasakan kebohongan dan
kejujuranku tentang dengan siapa aku berinteraksi. Dari dulu, aku tau kamu
paling gak bisa dibagi perhatian dari orang-orang yang sudah kamu jadikan
prioritas dan kamu sayang. Tapi dunia gak bekerja hanya untuk kamu, gak semua
perhatian hanya untuk kamu. Aku tau kamu selalu bisa bongkar kebohongan aku
kalau aku chatan atau dekat dengan orang lain, kamu selalu bisa merasakan itu. Aku
tahu kamu orangnya jujur dengan keadaan, tapi satu kelemahan kamu dimata aku.
Ego kamu tinggi, kamu sendiri yang bilang kamu selalu butuh penjelasan, tapi
apa? Ketika aku udah berusaha menjelaskan kamu gak nyaring itu. Ibarat kata
kamu dikasih makan nasi, kamu makan dan turun kelambung lalu dikeluarkan
langsung dalam bentuk nasi tanpa ada proses pencernaan apapun. Iyah, aku tahu
kamu selalu mendengarkan apa yang aku jelasin, tapi nyatanya kamu gak nyaring
yang aku jelasin. Semua penjelasan aku gak ada nilainya di mata kamu, cuman ego
kamu dan apa yang ada difikiran kamu yang punya nilai.”
L : “………”
T : “Kamu tau? Sakit yang
kurasakan berulang adalah ketika kamu membahas kembali masalah yang telah lalu.
Ku kira ketika aku sudah menjelaskan dan kamu sudah bilang ‘iya’ artinya masalah kelar saat itu juga tapi
ternyata tidak. Dikemudian hari kamu kembali mengungkit masalah yang sama,
sebelum fikiran kamu dibenarkan oleh semuanya kamu gak berhenti untuk
mengungkit masalah yang udah aku anggap angin lalu. Belajarlah, mungkin emang
kisah kita sudah harus berakhir, kita kembali menjadi teman seperti dahulu.
Kita pernah mencoba ada dalam satu kisah yang sama walau akhirnya kita harus
berbeda kisah dengan membawa pengalaman-pengalaman yang lalu untuk menjadi
bahan pelajaran untuk orang selanjutnya. Aku mungkin udah gak bisa lagi
disamping kamu, mendampingi kamu melewati hari-hari, tapi aku selalu disini,
ketika kamu butuh teman cerita, ketika kamu ingin pergi ke suatu tempat jangan
sungkan untuk menghubungiku, aku akan usaha untuk ada buat kamu walau posisiku
kini ada dibelakang kamu. Janji ya, kita gak akan jadi musuh, kan kamu yang
bilang ‘aku gak mau musuhan sama mantan lagi kaya yang lalu’, dan aku disini
untuk nurutin apa mau kamu. Janji ya, kita bisa jadi temen lagi dan aku masih
boleh nelfon kamu lagi.”
L : “iyah”
T : “Maaf ya, maaf atas
segala kebohongan yang aku tutupin selama ini, maaf aku baru bisa ungkap semuanya
sekarang yang menurut aku ini waktu yang tepat untuk aku ungkapin semuanya sama
kamu, ya walau belum semuanya. Maaf ya”
L : “Aku juga minta maaf,
dan TERIMAKASIH”
T : “Terimakasih untuk
apa?”
L : “Terimakasih kamu
sudah menjaawab banyak pertanyaanku”
T : “Tapi yang tadi aku
omongin gak ada di pertanyaan kamu”
L : “Memang, aku gak
pernah melontarkan pertannyaannya langsung ke kamu. Tapi ini pertanyaan 3 tahun
yang lalu dengan dia. Dan saat ini kamu menjawab banyak pertanyaan yang muncul
saat itu. Terimakasih, terimakasih atas segala penjelasan verbalnya. Penjelasan
yang tidak hanya bisa ku mengerti tetepi juga penjelasan yang mampu aku dengar
langsung menggunakan telinga ini. TERIMAKASIH”
01.23 wib. Rabu, 15
Januari 2020.
Maaf jika harapku menggema
di angkasa, biarlah aku berserah pada pemilikmu.
Komentar
Posting Komentar