(Tempat aku pulang dahulu)
Tiba-tiba teman lamaku men-DM ku
di IG, “Tumben” kataku. Dia salam dan ku balas salam pula. Tak lama setelahnya,
tanpa basa basi dia langsung memberikan informasi penting (menurutku) “Bapaknya
d(i)a berpulang tadi sore jam 5”. Deggg!!! Kaget pastinya, apalagi sedikit
banyaknya aku mengenal beliau darinya. Beberapa detik setelah itu, sahabatku
mengabari hal yang sama melalui WA, ya aku sudah tau sebelum dia beri tahu.
Otakku lumpuh detik itu juga, aku hanya ingin takziyah ke rumahnya, melihat untuk
terakhir kali sebelum beliau benar-benar tak dapat dilihat lagi.
F
: Aku pengen banget takziyah.
L
: Sekarang? Aku baru banget sampe rumah.
F
: Gak sekarang juga, nanti jam 8 selepas aku pulang kerja.
L
: Yaudah, nanti abis maghrib aku ke stasiun dekat rumah kamu.
F
: Gak usah, aku dari tempat kerja bisa jemput kamu dulu kok.
L
: Dimana deh rumahnya? Kamu tau?
F
: Kalau belum pindah si tau.
L
: Katanya sih udah pindah.
F
: Yaudah, nanti bareng sama yang lain aja, tapi beneran boleh ikut gak?
L
: Boleh lah.
F
: Takut, tapi kenal sama beliau.
L
: yaudah, kesana aja, aku aja gak kenal sama sekali sama beliau.
F
: yaudah, nanti jam 8 aku otw ke rumah kamu ya.
L
: iya, hati-hati.
Selepas jam 8, kupacu kendaraan
bermotorku ke rumah sahabat ku. Untunglah semesta merestui dengan menghadirkan
langit yang sedang tak menangis. Setelah menjemputnya, kami pun langsung menuju
rumah d(i)a. Perasaan kacau menghampiri, ada rasa ingin datang namun takut
kehadiranku hanya menambah beban pilu yang sedang d(i)a rasakan. Ingin
menguatkan, tapi takut malah makin melemahkan. Ah rasa, selama apapun waktu
berlalu bayangmu selalu mengikuti.
F
: Li, aku takut.
L
: Ih, kenapa?
F
: Aku takut nanti dia gak suka aku datang.
L
: Ya Allah, ini kan dalam rangka takziyah, mana mungkin dia bakal usir kamu.
F
: iyasih, gak bakalan diusir, tapi aku takut.
L
: Udah, gapapa kok.
F
: Aku takut kehadiranku malah menariknya mengingat masa lalu.
L
: Fit, niat kita kesana takziyah.
F
: Tapi, gimana nanti kalau kehadiran ku malah bikin dia makin pilu?
L
: Lurusin niatnya ya, udah jangan mikir macem-macem
F
: Makasih ya li, tetep disampingku untuk menguatkan selama disana
Tidak langsung ke rumah d(i)a, kami
sempat mampir untuk menyamper teman dahulu karena katanya minta dijemput. Selepas
itu, kami ketemuan dengan 3 orang teman satu SMA d(i)a di salah satu gang dekat
rumahnya. Malam itu raga ini seakan memasuki lorong waktu masa lalu. Sudah 3
tahun lamanya tak pernah sekalipun menyusuri jalanan pinggir rel kereta api
yang banyak sekali batu kerikil. Jalanan yang selalu berhasil menjadikan tubuh
ini seakan sedang naik roller coaster , mengingat kembali betapa dia
dengan lihainya memboncengi ku melewati jalanan ini. Mengingat betapa aku
setiap pagi melewati jalanan ini setiap mau berangkat kuliah disemester awal,
jalanan ini menjadi saksi bisu tawaku dan tawanya melebur sambil menahan badan
agar tidak oleng ke kiri (iya kiri jalanan ini seperti got besar, yang kalau
jatuh kau tahu lah akan seperti apa).
Karena katanya, rumah d(i)a sudah
pindah walau masih satu daerah, jadilah aku di belakang. Segala pake kesasar
karena jalan yang terblokir dari rumah, kata temanku itu “rumahnya gak jauh
dari rel kereta api”. Ku menyahut, “Lah, ya kalau gitu sama aja dong dengan
rumahnya yang dulu?”. Ku dengar dia membalas, “engga, dia pindah lebih kesanaan
lagi”. Yasudah, ku ikuti saja kemana dia mencari jalan, bertanya sana sini
untuk jalan tembusan. Akhirnya kami sampai di depan jalanan kecil rumahnya.
“Ih, ini mah sama aja rumahnya di situ-situ juga. Mana ada pindah pindahnya”
gumamku dalam hati.
Ku lihat gubuk tua itu. Kamu
ingat? Aku yakin kamu ingat. Gubuk untuk meronda itu menjadi saksi bisu dimana
amarah ku sedang memuncak karena ulahmu, namun seketika sirna karena melihatmu
yang luka-luka akibat kecelakaan malam itu. Lidahku kelu saat itu. Sumpah
serapah yang sudah tercipta dalam otakku seketika hilang dan mulut ini hanya
mampu berkata, “Kamu gak kenapa-napa, kan? Mana aja yang luka?”. Gubuk tua itu
yang selalu menjadi tempat anak-anak kecil berkumpul, termasuk adik-adikmu
dengan lucunya mereka meledek kita dengan kata, “Cieee, ciee pacarnya ya nih”. Hahaha
betapa menggemaskannya mereka meledek kita, ya.
Setelah kami parkirkan motor di
tempat biasa aku parkir dahulu, kami mulai memasuki area rumahmu. Sangat deg-degan
jantungku saat itu, asal kamu tahu. Bagaimana tidak? Aku kenal bapak dan aku
sangat dekat dengan ibu, tapi yang aku takutkan justru kamu. Bagaimana nanti
kalau kamu menolak kehadiranku? Seperti yang telah kamu lalukan dalam kurun
waktu 3 tahun ini. Bagaimana nanti justru kehadiranku malah menarikmu kembali
mengingat masa lalu? Yang jelas-jelas kamu berusaha sekuat tenaga menjauh dari
apa pun tentangku. Ku lirik sahabatku dan dia membalas dengan anggukan untuk
meyakinkan. Ku paksa kaki ini melangkah masuk ke halaman depan rumahmu. Tak
banyak yang berubah menurutku dari rumah ini, hanya saja memang lebih di
perbesar kedepan, bangunannya pun masih tetap sama.
Masuklah kami ber-6 ke halaman
rumahmu dan kamu sudah berdiri disana menyambut kami. Salaman satu persatu
untuk memberi dukungan kekuatan untukmu dan tiba giliranku untuk bersalaman
denganmu. Ku sodorkan tanganku dan aku tahu kamu ragu untuk membalasnya, tapi
kamu tetap membalas. Ya mana mungkin kan, lagi suasana duka seperti ini masih
saja memikirkan masalah pribadi yang sudah tertinggal beberapa tahun yang lalu.
Percaya tidak? Sentuhan tanganmu yang walau hanya beberapa detik, mampu menarik
otakku masuk ke dalam cerita yang pernah kita ciptakan dahulu.
Kamu ingat? Kapan pertama kali
kamu berani menggenggam tanganku?. Iya, waktu kita beli action figure
miku bertiga dengan nuga. Aku cewek sendiri diantara kalian. Nuga jalan di depan
dan kita jalan dibelakangnya berdua. Kita meledek nuga berdua karena dia
seperti nyamuk saja hahaha. Hampir mendekati mall yang menjual salah satu
karakter anime yang sangat kamu idam-idamkan saat itu. Tangan kita
samping-sampingan, berjalan seperti biasa saja. Entah apa yang memberimu
kekuatan besar hingga perlahan tanganmu menggenggam tanganku saat itu. Aku yang
kaget langsung menatapmu, kamu balas tatapanku dengan senyum. Ku pererat
genggaman tanganmu sambil membalas senyum itu. Walaupun tak lama karena takut
ketahuan nuga, tetapi rasanya semesta terasa hangat saat itu juga. Sesampainya
di mall, bukannya langsung beli “miku” salah satu action figure
favoritmu, kita malah ke toko buku dahulu walau hanya sekedar melihat-lihat. Kamu
yang tak mau jauh-jauh dariku terus menggenggam tanganku, kita berdua menjauh
dari nuga. Tapi sehebat apapun kita menghindar, tiba-tiba nuga muncul di depan
kita dan reflek genggaman kita terlepas hehe. “Udah sih, kalau mau pegangan
tangan mah pegangan aja, gak usah ngumpet-ngumpet gitu di depan gua” Katanya
singkat dan langsung pergi mencari buku lagi. Karena nuga sudah berkata seperti
itu, yasudah kepalang basah, genggamanmu tak lepas hingga aku tiba dirumah
kembali.
Setelah bersalaman denganmu kami
bersalaman dengan ibumu, sosok yang sangat aku kagumi dahulu. Sosok yang mampu
membuatku punya kesempatan untuk merasakan hangatnya keluarga sederhana yang
tak dimunculkan karena uang, tapi kehangatan yang muncul karena perbincangan
ringan antar anggota keluarga, canda dan tawa yang sederhana yang selama ini
aku impikan. “Eh, ya Allah, kamu datang, kamu tau dari mana kabar bapak?” ucap
beliau yang ternyata masih mengenaliku. “Aku tau informasinya dari temen, bu”
jawabku. “Udah lama banget ibu gak liat kamu, udah lama banget kamu gak main
kesini, ibu jadi kangen” ucapnya lagi, sungguh andai kamu tau aku amat sangat
ingin balas “Iya bu, aku juga kangen banget sama ibu” tapi rasanya berat
mengatakannya, hanya balasan senyum yang mampu ku berikan pada ibu. Bu, andai
engkau tau ingin sekali rasanya aku main kerumah ini, rumah ini adalah rumah
yang sebenarnya rumah buat aku, bukan hanya sebuah bangunan tapi juga tempat
untuk pulang. Memang d(i)a tak pernah melarangku untuk berkunjung, tapi
sikapnya yang menghilang seperti ditelan bumi dan menolak apa pun bentuk
komunikasi yang aku coba ciptakan kembali itu membuatku urung dan sungkan untuk
datang lagi kerumah ini. Ku biarkan rindu yang menggebu itu akan pudar seiring
waktu.
Aku duduk paling pojok, sengaja
agar tak mengganggumu. Rasa takut itu selalu kerap menghampiri. Biarlah,
setidaknya aku mampu datang kembali ke rumah ini dapat membayar rindu yang telah
terkubur sedari dulu. Tak ada sepatah kata pun antara kita, kamu asyik
bernostalgia zaman SMP dan SMA dengan cowok-cowok, sedangkan aku asyik menatap
setiap perubahan yang terjadi dengan rumah ini dengan tak lepas menggenggam
tangan sahabatku yang juga sahabatmu.
Kembali teringat olehku masa
dimana aku bertemu dengan bapakmu. Bapak, walau kita jarang bertemu, tapi aku
ingat bagaimana waktu itu kamu bawakan nangka hasil petikanmu. Kamu tanya-tanya
aku waktu pertemuan perdana kita, walaupun lebih seringnya engkau pergi bersama
ibu karena urusan ini itu. Dari d(i)a, aku mengenalmu sebagai sosok yang bijak,
engkau selalu dibanggakan dalam ceritanya pak. Betapa ia sangat mengaggumi cara
bicaramu dan pemikiranmu, walau dia selalu sebal karena d(i)a hanya mampu
bertemu denganmu sebulan sekali, itu yang menjadikannya punya impian jika
bekerja nanti pokoknya tak ingin seperti bapak yang lama pulang, ia ingin ada
waktu banyak juga untuk keluarga.
Sewaktu mengabarkan berita duka
ini, temanku bilang dia tak tau kronologinya seperti apa sampai tiada seperti
ini, dan dia juga tak berani bertanya banyak takut malah bikin sedih. Aku pun
tak begitu penasaran, namun dengan mudahnya ibu bercerita. Ibu keluar rumah
tatkala teman-teman kampus d(i)a hendak berpamitan pulang, karena memang waktu
sudah menunjukan jam 10 malam. Ku perhatikan satu persatu teman-teman barunya
itu dan beberapa aku mengenali mereka walaupun mereka tak mengenaliku. Harap
maklum, dulu aku suka banget ngestalk akun IG mereka agar tahu kabar darimu
hehehe. Walaupun hanya 15% informasi yang dapat ku terima dari postingan
mereka, setidaknya bagiku itu sudah lebih dari cukup untuk aku tahu bagaimana
kabarmu.
Setelah teman kampusmu selesai
bersalaman, ibu menghampiriku. Ku berikan kursi tepat di sampingku dia duduk.
perlahan ia membuka cerita tentang bapak. Bapak yang sempat masuk rumah sakit
bulan lalu, bapak yang kembali sehat dan masih semangat memperbaiki rumah,
bapak yang sudah pension dari pekerjaannya ada rasa rindu dan bangga yang dapat
ku tangkap dari sorot mata ibu dan suaranya. Tak ku sangka dia masih menanyaiku
perihal kuliah, adik, papah dan mamah. Bahkan dia masih ingat betul apa pun
yang pernah ku bicarakan padanya. Oh semesta, rasanya ingin sekali ku peluk
raga ibu, tapi itu tak mungkin ku lakukan untuk saat ini. Ingin sekali ku
genggam tangannya untuk memberikannya kekuatan, tapi berat sekali rasanya.
Andai kamu tak memasang sikap musuh terhadapku selama ini, sudah ku peluk raga
ibu yang selama ini aku rindukan.
Setelah ibu selesai bercerita ia
kembali masuk ke dalam rumah, tampaknya ia mulai lelah karena memang malam kian
larut. Ku perhatikan lagi sekeliling rumah ini, mataku tertuju pada seorang
anak laki-laki yang aku ragu mengenalinya. Dia adikmu, nyatanya setelah sunat
dia makin tinggi ya, walaupun tetap lumayan berisi badannya hehehe aku sampai
pangling saat memperhatikannya. Ramah sikapnya kepadaku membuat percakapan
ringan di antara kami mengalir begitu saja, tapi aku tak melihat adikmu yang
perempuan. Sepertinya dia tak lebih tegar seperti kalian, I feel that.
Ku curi pandang terhadapmu, wajah yang selama ini sangat ingin ku temukan,
mengapa? Mengapa pertemuan perdana kita malah dalam keadaan pilu seperti ini?
Tak bisakah kita dipertemukan kembali dalam keadaan yang baik-baik saja?
Semesta, akankah ada kesempatan kembali untuk bertemunya setelah pertemuan
kemarin?.
Mungkin karena terlalu banyak
minum, aku jadi ingin pipis. “Li pengen pipis” kata ku, “Yaudah kedalem, aku
gak tau kamar mandinya dimana” ucapnya, “Aku tau, tapi takut” balas ku.
Akhirnya dia izin ke d(i)a untuk pipis, “Yaudah masuk aja ada ibu gue kok
didalem, ada-ada aja” balasnya. Aku masuk bersama sahabatku, baru depan pintu
ku lihat bapak yang sudah terbujur kaku di tutupi kain batik dan kain putih, ku
urungkan niatku untuk masuk, tak kuasa aku melihat bapak yang pernah baik
padaku kini sudah tiada. Aku kembali ke tempat duduk semula, ku tahan pipis
hingga pulang. Biarlah daripada aku tak bisa tidur karena teringat wajah bapak.
Jam sudah menunjukan pukul 23.00
aku dan teman-teman pamit undur diri, “Loh mau pada pulang? Kirain nginep,
yaudah hati-hati ya” ucap ibu saat kami ingin bersalaman. Sentuhan hangatnya di
lengan kiri ku membuatku semakin rindu dengan sosoknya. Bu, terimakasih telah
menguatkan ku menghadapi semester awal masa perkuliahan ku, terimakasih selalu
membuatkan ku sarapan dan bekal (salah satu hal sederhana yang tak kudapat dari
rumah asli ku), terimakasih selalu bertanya bagaimana hari-hari ku di kampus
baru, terimakasih telah mengajariku menciptakan kebahagian ditengah peliknya
ekonomi kehidupan, darimu aku belajar bahwa uang bukan segalanya, darimu aku
belajar bahwa bahagia dapat diciptakan dari hal-hal sederhana yang tak
membutuhkan banyak biaya dan terakhir terimakasih karena telah melahirkan d(i)a
yang sempat singgah di hatiku, yang sempat menjadikanku rumah untuknya, walau
kini semua hanya tinggal masa lalu yang selalu indah ku kenang.
Dan teruntuk mu, terimakasih
telah mewarnai masa-masa akhir SMA ku dan masa-masa awal perkuliahan ku,
terimakasih pernah menepati janji untuk membersihkan gelas (8 februari – 8
maret 2015) walau yang kamu takutkan terjadi gelas itu kembali kotor setelah
kamu pergi, terimakasih atas segala cerita yang pernah kita ukir bersama,
terimakasih atas segala pelajaran yang telah kamu berikan kepadaku entah senang
atau sedih. Kini kamu sudah mempunyai gelar dibelakang namamu, pekerjaan pun
sudah kamu dapatkan. Sekarang ibu dan adik-adikmu sepenuhnya menjadi tanggung
jawabmu, kamu resmi menjadi tulang punggung keluarga saat ini, semoga raga dan
jiwamu terus di kuatkan dan sehat selalu. Maaf, karena telah memaksakan hadir
malam itu. Maaf, telah membuatmu kaget akan kehadiran ku.
Terimakasih
dan Maaf.
(Rabu,
26 Februari 2020)
Komentar
Posting Komentar