24 Januari 2020
Setelah 4 hari sebelum
hari ini kita bersitegang kembali, dan aku meminta untuk dibatalkan pesanan
buku olehmu, namun nasi sudah menjadi bubur. Buku yang aku pesan dan buku yang
kamu pesan sama-sama sudah dalam proses pengiriman. Padahal kita memesan buku
yang sama, satu paket buku karya BK yang terdiri dari 3 bukunya.
Kemudian kita lost
contact hingga tiba-tiba kamu menghubungiku di hari Jumat, mengabarkan bahwa
paket buku yang ku pesan sudah sampai. Bermodalkan wifi yang ada di tokomu,
kamu bilang:
T: Yg ditemen nggk di
cancel?
L: engga
T: Jadi gimana ini?
L: iya gpp, beli 2
T: Duitnya kan pas pasan
buat 1 paket buku
L: yaudah, mau gimana. Bilang
papa
T: Jangan, nggk usah
L: gpp kok
T: Besok tan anter
bukunya, besok sore
L: iyah
T: Yaudah, map ya
Besoknya seharian full aku berkutik dengan anak-anak
didik ku untuk mempersiapkan lomba dadakan yang diadakan salah satu sekolah di
daerahku. Hingga isya mereka akhirnya pamit untuk pulang, namun hadirmu tak
kunjung datang. Bermodalkan wifi teman kamu mengabarkan bahwa kamu tidak bisa
datang malam itu karena bukunya ketinggalan di Gudang, oh yasudah fikirku. Kamu
berjanji akan datang esok hari untuk memberikan buku itu, ku jawab iyah.
Besoknya tepat hari ini, hari minggu jadwalku sangatlah padat
hingga baru tiba dirumah tepat adzan maghrib. Kepalaku terasa cenat cenut
sekali dengan aktivitas yang ku jalani seharian ini. Adik-adik ku menumpang
istirahat sebentar dikamarku karena memang diluar sedang hujan dan mereka tidak
bisa pulang jika harus hujan hujanan. Hujan pun mereda sekitar pukul 8 malam dan
merekapun pamit pulang. Dalam benak ku saat itu “Ah mungkin kamu tidak jadi
lagi, soalnya kalaupun jadi mengantarkan paket itu pasti kamu sudah sampai di
depan rumahku maghrib tadi”.
Ternyata diluar dugaan, kamu datang pukul setengah Sembilan
dengan menggunakan motor, katamu “naik kereta tidak memungkinkan jika sedang
hujan seperti ini takutnya seperti kejadian yang udah-udah kereta di
berhentikan karena stasiun terendam banjir, jadi aku memutuskan untuk naik
motor karena udah janji juga sama kamu mau ngasih bukunya malam ini”. Ku
dengarkan penjelasanmu dan ku persilahkan kamu untuk duduk di ruang tamu rumahku,
saat itu hanya ada mamah dan aku yang ada dirumah.
Kamu membuka paket itu di depanku, huh seharusnya itu
paket yang ku buka sendiri, tapi karena kamu yang membelikan yasudah biarkan
itu menjadi hak mu. Ku baca satu buku yang sangat ku incar dengan judul “Merayakan
Kehilangan”, dengan sengaja ku kencangan volume suaraku untuk membacakan
kalimat yang menurutku pas ku berikan padamu dalam buku itu. Tapi raut wajahmu
tak menyukainya katamu “Disini masih ada orang loh, masa baca bukunya sekarang.
Orang mah ngobrol kalau lagi ada orang bukan baca buku”. Ku tutup buku yang
sengaja aku baca, dan memperhatikanmu berbicara.
Kamu menyuruhku untuk berdiri di depanmu, kamu genggam
dengan erat tanganku, tapi aku menolak, karena bagiku ketika kamu sudah memilih
menjadi temanku maka kamu akan ku perlakukan selayaknya aku memperlakukan
teman-temanku yang lainnya. Sekuat aku melepaskan genggaman itu justru
genggamanmu tak kalah kuat juga. Kamu bilang:
T: Jangan berontak dulu
L: Lepasin
T: *kamu menggeleng*,
maafin aku.
L: Iya aku udah maafin
kamu
T: maaf
L: Iyah udah deh, gak
perlu minta maaf melulu
Kamu bangun dari duduk mu, dan mulai memeluk ku. Tapi aku
berusaha kuat untuk menepis pelukan itu. Kamu genggam tanganku semakin kuat “Please,
biarin aku meluk kamu, untuk yang terakhir mungkin eh jangan juga. Please, aku
kangen. Aku nyaman banget bisa peluk kamu. Aku rindu, izinkan aku mala mini untuk
memeluk tubuhmu lagi”. Namun aku dengan sekuat tenaga menolak. Kita adu fisik
selama kurang lebih lima belas menit, kamu yang berusaha memeluk tubuhku dan
aku yang berusaha untuk tidak dipeluk olehmu. “Apa kamu gak rindu pelukan kita?
Untuk mala mini saja, biarkan aku memelukmu” ucapmu malam itu.
Sejujurnya, aku sangat rindu berada dalam dekapanmu,
dekapan yang mampu memberikan ku kenyamanan tersendiri. Dekapan yang mampu merubah
tangisku menjadi senyuman. Dekapan yang mampu membuat dunia sedang tersenyum
kearahku. Iyah aku sangat merindukan dekapan itu, jauh dilubuk hati terdalamku
aku ingin membalas pelukanmu malam itu.
Tapi aku tidak bisa, aku tidak kuat untuk memelukmu malam
itu. Dekapanmu hanyalah akan menancapkan sembilu ke relung hatiku semakin
dalam. Mungkin ketika aku berada dalam dekapanmu aku akan merasakan kenyamanan,
namun setelah dekapan itu terlepas dan aku teringat kembali bahwa hatimu bukan lagi
untuk ku, akan timbul rasa sakit berkepanjangan. Aku hanya tidak ingin
membangkitkan rasa sakit itu, rasa sakit yang telah mereda setelah satu bulan
lebih aku bersusah payah menikmatinya.
Ku ambil kunci motormu dan ku seragkan padamu, karena
tanganmu menggempal dan tak ingin di buka jadi aku taruh kunci motor itu di
saku bajumu. Kamu bertanya padaku “Kamu ngusir aku?”, aku tak menjawab hanya
tatapan yang mampu ku berikan padamu. Kamu memintaku untuk menemanimu sebentar untuk makan malam, atau hanya sekedar beli paket internet. Tapi aku menolaknya dengan
pasti, karena hatiku sedang tidak karuan setelah kamu memaksa untuk memelukku.
Sejujurnya aku ingin malam itu kita berbincang lebih
banyak dan lebih lama, setelah jeda yang tercipta panjang diantara kita. Namun
nampaknya nafsumu menggebu kala itu, sulit untuk kau kendalikan. Perihal laki-laki
aku sudah banyak membaca tentang nafsu kalian, memang sulit jika kadar oksigen dan
fokus sudah beralih ke bagian tertentu, sehingga jangankan berfikir jernih dan
bersikap normal, untuk sekedar bernafaspun sulit. Andai saja kamu tak
terpancing nafsu malam itu, aku ingin kita terduduk lebih lama menceritakan
segala hal yang tidak aku dan kamu ketahui selama jeda yang terjadi. Yah itu
hanya andai saja…
Untuk mu, maaf jika
hingga detik ini aku masih perlu waktu
Entah waktu untuk apa,
aku juga tidak tahu.
Entah berapa lama waktu itu, aku juga tidak tahu.
Komentar
Posting Komentar