Tentang DI(A) #5

Mt. Sumbing (kala itu)


Sejak kejadian hari itu, rasanya bertemu dan berinteraksi denganmu akan menjadi ancaman terbesar dalam diri ini. Rasanya aku menjadi orang yang tak pantas lagi berada di sisimu, “takut” mungkin kata yang tepat untuk ku yang melihat kamu. Bukan, bukan kamu yang menakuti bagiku, tapi justru akulah yang takut dapat menyakitimu lebih dari yang kemarin. Kamu bilang “Apa hukuman yang pantas bagi seorang pembohong? Apakah harus di obrak abrik dari akar hingga ke daun yang akan gugur? Sunggung itu adalah hukuman yang tidak setimpal’. Kamu benar, mungkin itu hukuman yang tak setimpal atas kebohongan yang telah kamu lakukan. Tapi, izinkan aku bertanya “Mengapa kamu tetap melakukan dan menjalankan kesalahan (kebohongan) tentang hal yang sama terus menerus? Padahal ini  kesekian kalinya kebohonganmu terungkap”. Entah aku yang bebal atau kamu yang bebal, nyatanya aku menyerah atas lingkungan yang sangat toxic ini.

Kamu sering bilang padaku “Aku capek, capek banget kalau harus berantem sama kamu terus. Bisa gak sih kita damai untuk jangka waktu yang panjang? Rasanya beru sehari dua hari kita baikan eh udah berantem lagi”. Entah kamu sedang sadar penuh melakukan itu atau memang sedang mabuk diatas segala kebohongan yang selalu mendapat pembelaan darimu, nyatanya kamu bisa mengakhiri semua pertikaian ini ketika kamu benar benar menghilangkan segala kebohongan itu dan mencoba keras untuk jujur  apapun yang terjadi. Memang sulit untuk orang yang terbiasa menutupi segala hal, terlalu banyak pemikiran buruk tentang masa depan.

Kalau aku jujur dia bakal marah nih.
Kalau aku jujur dia bakalan tetep ngambek nih.
Kalau aku jujur mungkin sikapnya akan berubah terhadapku
Kalau aku jujur mungkin dia akan benar benar pergi dariku.

          Mungkin menurutmu ‘Bohong demi kebaikan’ adalah menunda lebih panjang waktu untuk berpisah. Aku yakin tak ada seorangpun dimuka bumi ini yang senang jika dirinya dibohongi, yang ada orang yang senang jika dirinya pandai berbohong.

          Perihal bohong, akupun pernah melakukannya, tak munafik memang. Bedanya ketika setelah melakukan itu ada rasa sesal dan ingin memperbaiki atau malah sebaliknya senang karena telah lolos dari kebohongan yang satu hingga kebohongan yang lainnya.

          Hingga detik inipun aku benar benar tak bisa membaca apa yang sedang kamu fikirkan, perihal kebohongan. Apa motif mu untuk melakukan semua itu?. Jujur memang terkadang sangat berat dan menyakitkan, tapi aku selalu percaya itu lebih baik daripada kebohongan yang akan terbongkar di ujung. Memang tak semua hal harus dikatakan saat itu juga, tapi coba kita lihat kasus ini, apa pembenaran yang melegalkan kamu untuk berbohong?. Urgent kah? Kurasa hubungan kita tak da yang urgent, kita sedang tidak dihadapkan pada situasi yang serba sulit, atau antara hidup dan mati, kita hanya sedang mempertaruhkan antara “bertahan” atau “melepas”.

          Aku memang bukan manusia satu satunya dimuka bumi ini, bukan pula satu satunya orang yang memiliki fikiran dan rasa. Ada miliyaran manusia di bumi ini, dengan berbagai macam karakter dan sudut pandang. Hei? Bisakah kita saling berdiskusi santai hingga terbentuklah solusi atas apapun yang tengah mejadi masalah kita?. Rasa-rasanya kita adalah dua orang manusia yang berbeda sudut pandang, sudah saling mengungkapkan kemauan masing-masing, sudah saling mengeluhkan tentang apa yang sedang dirasa, namun kita tak saling mencari solusi bersama. Kiata sama sama kuat dalam mengedepankan pendapat dan ego, tak bisa dipungkiri bukan? Karena semua hanyalah tentang penerimaan.

          Aku ingat betul kamu pernah bicara “Kalau ada masalah itu ngomong! Kalau tidak suka itu ngomong! Bukannya diam!”. Coba tengok hari hari kita yang berisikan diskusi yang itu itu saja? Bukankah aku tetap konsisten tentang apa yang aku keluhkan? Bukankah aku tetap mengutarakan pendapat dan ingin ku?. Aku tau kamu pun demikian, sudah sering kamu mengutarakan apa yang kamu keluhkan dan apa yang kamu inginkan, tapi apa?. Kita dalah sepasang manusia yang saling mau mendengarkan tanpa mau memahami dan menerima, kita saling mengutarakan tanpa mau berfikir untuk saling mecari solusi bersama. Ada sikapmu yang tak mau kamu ubah karena teramat percaya atas apa yang kamu lakukan adalah benar, dan begitupun aku.

          Akankah buku perjalanan kita harus berakhir seperti ini? Heheh. Ah dasar aku, memangnya buku ini harus berakhir seperti apa? Nyatanya memang tak ada yang baik baik saja ketika berhadapan dengan kata ‘TAMAT’ dan selamat tinggal. Bagaimanapun ending dari buku ini, kebahagiaan pernah hadir diantara kita, rasa nyaman dan aman pernah memeluk kita dalam waktu yang cukup untuk menjadi “indah”.

          Rasa-rasanya baru kemarin kita bertemu, saling jaim hingga memberanikan diri untuk saling bertanya pribadi masing-masing. Bercerita banyak hal, hingga melakukan mimpi-mimpi kecil yang kini terkenang menjadi kenangan indah. Kita memang tak seperti mereka yang beru sebentar dekat sudah berani membicarakan hari tua bersama, kita adalah kita sepasang manusia dengan segala kesederhanannya. Aku dan kamu mungkin bukan seorang yang mempunyai visi terlampau jauh, mimpi mimpi kita adalah tentang kebahagian kecil dalam jangka waktu yang pendek. Bagiku kecewa karena ekspetasi sendiri itu lebih kejam dari apapun, maka dari itu denganmu aku hanya berani untuk bermimpi kecil tapi selalu berusaha mewujudkannya dalam waktu yang singkat.

          Aku mungkin bukan yang pertama bagimu, kamupun bukan yang pertama bagiku. Terimakasih telah hadir memberikan warna kembali dalam hidupku, walaupun kenyatannya kini harus kita relakan buku yang telah habis kita warnai bersama. Terimakasih pernah bersedia ku jadikan tempat pulang saat duniaku sedang tidak baik-baik saja. Aku menyayangimu, sejak hadirku pertama kali di mes hingga detik ini. Tentangmu takan pernah ku lupakan, akan ku jaga baik-baik kenangan tentang kita.

Salam sayang dan rindu.
Dari aku yang menyayangimu.


Komentar