Mt. Sumbing (kala itu) |
Sejak
kejadian hari itu, rasanya bertemu dan berinteraksi denganmu akan menjadi
ancaman terbesar dalam diri ini. Rasanya aku menjadi orang yang tak pantas lagi
berada di sisimu, “takut” mungkin kata yang tepat untuk ku yang melihat kamu.
Bukan, bukan kamu yang menakuti bagiku, tapi justru akulah yang takut dapat
menyakitimu lebih dari yang kemarin. Kamu bilang “Apa hukuman yang pantas bagi
seorang pembohong? Apakah harus di obrak abrik dari akar hingga ke daun yang
akan gugur? Sunggung itu adalah hukuman yang tidak setimpal’. Kamu benar,
mungkin itu hukuman yang tak setimpal atas kebohongan yang telah kamu lakukan.
Tapi, izinkan aku bertanya “Mengapa kamu tetap melakukan dan menjalankan
kesalahan (kebohongan) tentang hal yang sama terus menerus? Padahal ini kesekian kalinya kebohonganmu terungkap”.
Entah aku yang bebal atau kamu yang bebal, nyatanya aku menyerah atas
lingkungan yang sangat toxic ini.
Kamu
sering bilang padaku “Aku capek, capek banget kalau harus berantem sama kamu
terus. Bisa gak sih kita damai untuk jangka waktu yang panjang? Rasanya beru
sehari dua hari kita baikan eh udah berantem lagi”. Entah kamu sedang sadar
penuh melakukan itu atau memang sedang mabuk diatas segala kebohongan yang
selalu mendapat pembelaan darimu, nyatanya kamu bisa mengakhiri semua
pertikaian ini ketika kamu benar benar menghilangkan segala kebohongan itu dan
mencoba keras untuk jujur apapun yang
terjadi. Memang sulit untuk orang yang terbiasa menutupi segala hal, terlalu
banyak pemikiran buruk tentang masa depan.
Kalau
aku jujur dia bakal marah nih.
Kalau
aku jujur dia bakalan tetep ngambek nih.
Kalau
aku jujur mungkin sikapnya akan berubah terhadapku
Kalau
aku jujur mungkin dia akan benar benar pergi dariku.
Mungkin menurutmu ‘Bohong demi
kebaikan’ adalah menunda lebih panjang waktu untuk berpisah. Aku yakin tak ada
seorangpun dimuka bumi ini yang senang jika dirinya dibohongi, yang ada orang
yang senang jika dirinya pandai berbohong.
Perihal bohong, akupun pernah
melakukannya, tak munafik memang. Bedanya ketika setelah melakukan itu ada rasa
sesal dan ingin memperbaiki atau malah sebaliknya senang karena telah lolos
dari kebohongan yang satu hingga kebohongan yang lainnya.
Hingga detik inipun aku benar benar
tak bisa membaca apa yang sedang kamu fikirkan, perihal kebohongan. Apa motif
mu untuk melakukan semua itu?. Jujur memang terkadang sangat berat dan
menyakitkan, tapi aku selalu percaya itu lebih baik daripada kebohongan yang
akan terbongkar di ujung. Memang tak semua hal harus dikatakan saat itu juga,
tapi coba kita lihat kasus ini, apa pembenaran yang melegalkan kamu untuk
berbohong?. Urgent kah? Kurasa hubungan kita tak da yang urgent, kita sedang
tidak dihadapkan pada situasi yang serba sulit, atau antara hidup dan mati,
kita hanya sedang mempertaruhkan antara “bertahan” atau “melepas”.
Aku memang bukan manusia satu satunya
dimuka bumi ini, bukan pula satu satunya orang yang memiliki fikiran dan rasa.
Ada miliyaran manusia di bumi ini, dengan berbagai macam karakter dan sudut
pandang. Hei? Bisakah kita saling berdiskusi santai hingga terbentuklah solusi
atas apapun yang tengah mejadi masalah kita?. Rasa-rasanya kita adalah dua
orang manusia yang berbeda sudut pandang, sudah saling mengungkapkan kemauan
masing-masing, sudah saling mengeluhkan tentang apa yang sedang dirasa, namun
kita tak saling mencari solusi bersama. Kiata sama sama kuat dalam
mengedepankan pendapat dan ego, tak bisa dipungkiri bukan? Karena semua
hanyalah tentang penerimaan.
Aku ingat betul kamu pernah bicara
“Kalau ada masalah itu ngomong! Kalau tidak suka itu ngomong! Bukannya diam!”.
Coba tengok hari hari kita yang berisikan diskusi yang itu itu saja? Bukankah
aku tetap konsisten tentang apa yang aku keluhkan? Bukankah aku tetap
mengutarakan pendapat dan ingin ku?. Aku tau kamu pun demikian, sudah sering
kamu mengutarakan apa yang kamu keluhkan dan apa yang kamu inginkan, tapi apa?.
Kita dalah sepasang manusia yang saling mau mendengarkan tanpa mau memahami dan
menerima, kita saling mengutarakan tanpa mau berfikir untuk saling mecari
solusi bersama. Ada sikapmu yang tak mau kamu ubah karena teramat percaya atas
apa yang kamu lakukan adalah benar, dan begitupun aku.
Akankah buku perjalanan kita harus
berakhir seperti ini? Heheh. Ah dasar aku, memangnya buku ini harus berakhir
seperti apa? Nyatanya memang tak ada yang baik baik saja ketika berhadapan
dengan kata ‘TAMAT’ dan selamat tinggal. Bagaimanapun ending dari buku ini,
kebahagiaan pernah hadir diantara kita, rasa nyaman dan aman pernah memeluk kita
dalam waktu yang cukup untuk menjadi “indah”.
Rasa-rasanya baru kemarin kita
bertemu, saling jaim hingga memberanikan diri untuk saling bertanya pribadi
masing-masing. Bercerita banyak hal, hingga melakukan mimpi-mimpi kecil yang
kini terkenang menjadi kenangan indah. Kita memang tak seperti mereka yang beru
sebentar dekat sudah berani membicarakan hari tua bersama, kita adalah kita
sepasang manusia dengan segala kesederhanannya. Aku dan kamu mungkin bukan
seorang yang mempunyai visi terlampau jauh, mimpi mimpi kita adalah tentang
kebahagian kecil dalam jangka waktu yang pendek. Bagiku kecewa karena ekspetasi
sendiri itu lebih kejam dari apapun, maka dari itu denganmu aku hanya berani
untuk bermimpi kecil tapi selalu berusaha mewujudkannya dalam waktu yang
singkat.
Aku mungkin bukan yang pertama bagimu,
kamupun bukan yang pertama bagiku. Terimakasih telah hadir memberikan warna
kembali dalam hidupku, walaupun kenyatannya kini harus kita relakan buku yang
telah habis kita warnai bersama. Terimakasih pernah bersedia ku jadikan tempat
pulang saat duniaku sedang tidak baik-baik saja. Aku menyayangimu, sejak
hadirku pertama kali di mes hingga detik ini. Tentangmu takan pernah ku
lupakan, akan ku jaga baik-baik kenangan tentang kita.
Salam sayang dan
rindu.
Dari aku yang
menyayangimu.
Komentar
Posting Komentar