Kepantasan


“Kamu tuh orangnya egois” ucapnya sering kali.

“Sekarang ngapain lu mikirin dia bakal bete sama lu atau engga, lu liat tanggung jawabnya dari situ lu udah bisa nilai dia orangnya kayak apa” ucap orang lain.

                Gue yakin lu semua pasti pernah denger kalimat jitu untuk berpisah “kamu tuh terlalu baik buat aku”. Bagi yang di tinggalkan akan berfikiran “Kalau baik ya seharusnya jangan di tinggalin, apa harus jadi orang jahat biar gak ditinggalin?”, sedangkan bagi yang meninggalkan ini adalah perkara beban bukan karena tidak sayang. Mungkin di tulisan kali ini gue bakal lebih banyak bicara dari sudut pandang orang yang meninggalkan.

                Pernah gak sih lu merasa utang budi? Bagi gue beban orang yang terlalu baik ke kita itu ibarat utang budi tapi kita tidak bisa mencapai itu, sulit rasanya untuk baik pada taraf yang sama apalagi melebihi. Memang sih orang yang sayang sama kita dan memperlakukan kita dengan treatment terbaiknya tidak akan menuntut pembalasan, apalagi memang dia ikhlas dan tulus melakukannya dengan kita stay disamping dia menemani hari-harinya aja itu sudah lebih dari cukup. Tapiiii nih tapi bagi orang yang menerima kebaikan itu rasanya kayak gak berguna aja dampingin orang seperti itu, serasa benalu alih-alih bisa bermanfaat atau membahagiakan eh malah jadi beban terus kesannya.

                Mungkin memang tidak semua orang berfikiran kayak gini sih, oke gue ralat gue mencoba memandang dari sudut pandang gue tapi tetap di kubu orang yang meninggalkan.

                Bagi gue diperlakukan terlalu baik itu menjadi beban batin tersendiri, bisa menjadi beban karena gue gak tau harus gimana ngebalesnya. Memang dia gak minta muluk-muluk harus kebaikan yang sama, cukup stay dan mau nemenin dia menjalani hari-hari, menjadi tempat untuk dia bersandar itu sudah lebih dari cukup. Bukannya gue gak sayang atau tidak menginginkan tapi memang merasa tidak pantas aja untuk mendapatkan kebaikan dari dia yang begitu bertubi-tubi. Sesekali gue pengen dia egois, gue pengen dia mementingkan kepentingannya sendiri diatas apapun, gue pengen dia yang ngerugiin gue atas ke egoisannya. Tapi gak pernah sekalipun dia melakukan itu, bagi dia kebahagiaan gue harus menjadi prioritas utama. Dia rela nahan rasa sakit apapun asal gue gak terluka, asal gue gak susah asal gue bisa bahagia.

                Dia memang jarang bilang sayang, bilang yang romantsi atau sekedar memuji. Tapi tindakannya selalu menunjukan itu. Ada hal-hal yang kadang gue gak paham atas tindakannya, akhirnya sering kali cekcok muncul karena itu. Ada juga beberapa hal yang dia sembunyikan dengan tujuan biar gue gak kecewa atau sedih dengan itu. Pokoknya banyak hal yang dia lakukan buat ngelindungin gue, buat menjadikan gue pribadi yang lebih baik, buat gue bahagia atau sekedar buat  gue punya tempat untuk pulang.

                Padahal jika di runut dia punya seribu alasan untuk pergi atau bahkan meninggalkan, tapi dia selalu berpegang pada satu alasan untuk membuat dia tetap bertahan. Kecewa? Sudah tak terhitung berapa banyak dia kecewa. Mengeluh? Dalam beberapa momen dia mengeluh tentang betapa tidak baiknya perlakuan gue. Sakit? Mulai dari sakit ringan hingga berhari hari pun pernah dia rasakan akibat perbuatan gue. Lantas dari segala hal yang masuk akal untuk dijadikan alasan melangkah pergi, kenapa tidak satupun mencoba digunakan? Semuanya ditepis dengan satu alasan untuk tetap bertahan. Gue gak paham terbentuk dari apa dan darimana hati beserta pola fikirnya. Dan kenapa gue yang terlibat di dalamnya?

                Tapi kadang juga terlintas di benak, bagaimana jika alasannya bertahan hanya karena tidak ada pilihan. Kalau jarak puluhan kilometer mampu memisahkan bisa saja dia dengan mudah melepaskan. Karena kesempatan itu belum datang makanya masih bertahan, entahlah itu hanya asumsi gue aja. Terkadang memang banyak sih kemungkinannya, tapi dari sekian banyak kemungkinan belum ada yang membuat gue benar-benar yakin apa alasan dia sebenarnya.

                Kalau mau buka-bukaan sih banyak banget yang ngantri buat bisa milikin dia sepenuhnya, banyak banget yang ngantri buat jadi prioritas dia yang utama dibandingkan lainnya, banyak banget yang ngantri buat dapetin segala macam bentuk perhatiannya. Bahkan gak sedikit yang merelakan kesempatan bersama yang lain hanya untuk bersama dia, merelakan apa yang dipunya untuk membahagiakan dia, merelakan urusan yang lain demi urusan dia. Sedangkan gue? Kayaknya jauh dari kata itu. Dan anehnya gue yang mendapatkan kesempatan itu dengan perjuangan yang hamper nol gue rasa.

                Takdir? Ini satu kata yang tak bisa dibantah oleh siapapun, kata terakhir yang terucap jika logika sudah tak mampu lagi menganalisa informasi yang masuk. Akankah ini merupakan akhir atau untuk yang kesekian kalinya akan menjadi tempat singgah. Waktu terus berjalan, semakin lama malah ketakutan dan ke khawatiran itu semakin menjadi. Seharusnya memang tak usah di fikirkan terus menerus, tapi hati berkata lain dan otak yang tak tega pun akhirnya kembali terus terusan membantu memikirkan hal ini. Rasanya gue cuman pengen kembali kemasa lalu, masa dimana semua kenangan gak pernah tercipta, bukan ini bukan karena berakhir buruk justru karena belum berakhir dan gue gak tau akan berakhir seperti apa. Ketakutan itu semakin menjadi, rasanya waktu kini mulai menikam perlahan, rasanya gue cuman pengen skip bagian ini atau sekedar intip bagaimana akhirnya, atau gue restart dari awal hingga pertemuan itu tak pernah terjadi dan certia ini tak pernah terbentuk.

                Maaf alurnya berantakan, ini dibuat dari pagi hingga sore dengan berbagai aktifitas selingan, jadi emosionalnya tersebar acak di bagian-bagian tertentu.

 

Komentar