Bunga Hitam (4)

        Tiga hari selepas aku menyelesaikan pendakian ke Gunung Slamet, tibalah untuk bertolak ke Jakarta karena masa cuti kerjaanku sudah berada di penghujungnya. 

        Seperti biasa, transportasi favorite yang aku gunakan untuk kembali pulang ke Jakarta ialah kereta api. Pemandangan terbentang seperti sawah, pegunungan, perumahan, sungai, ladang dan sebagainya silih berganti sepanjang laju kereta, namun ada yang tetap tinggal yaitu fikiran ku terhadapnya masih seru berputar-putar di kepala. Kali ini duka kehilangan mrmang tak begitu ambil peran penting dalam hari-hari ku, karena rasa kecewa yang memuncak memudahkan ku untuk melepas dengan tenang.

"Assalamu'alaikum" pesan teks ku kirimkan pada Biyan yang ku tau ternyata tempat kerjanya hanya berjarak 20 menit dari rumah ku.

"Wa'alaikumsalam" balasnya beberapa saat kemudian.

"Biyan lagi dimana?" 

"Kosan, kenapa?"

"Udah makan belum?"

"Belum si, tapi gak terlalu pengen makan"

"Mau ikut gue makan ga?"

"Kemana?"

"Deket-deket sini aja, laper nih gue mau makan tapi lagi cari temen"

"Hmmm yaudah sharelock rumah lu"

"Oke"

Selang 10 menit kemudian

"Eh ketemuan di tengah aja deh, biar gak muter-muter"

"Oke" balas ku

        Sampailah aku di titik pertemuan kami, suasananya sepi tapi ramai lalu lalang kendaraan. Sepanjang jalan raya tidak terlalu gelap karena memang penerangan disini cukup memadai, ditambah beberapa resto besar buka di sepanjang pinggir jalan, walau tidak dempet tempatnya tapi cukup untuk menghalau kesan sepi di sini. Jam sudah menunjukan lewat 10 menit dari perjanjian kami.

"Lo dimana?" Ucapku sesaat setelah panggilan telepon dari ku diterima olehnya

"Di deket rumah lo"

"Hah? Kok disitu?"

"Tadi gue udah sampe duluan, dan lo belom ada, jadi gua susul aja ke rumah lo. Sekarang lo dimana?"

"Lah, gue udah sampe ditengah sesuai perjanjian kita dari sepuluh menit yang lalu"

"Lah kocak, hahaha yaudah disitu aja gua kesana, sharelock ulang" tawa renyah Biyan memenuhi panggilan telfon darinya.

        Pertemuan yang sedikit canggung baginya (sepertinya yang ku lihat seperti itu), bagiku biasa saja karena memang aku senang dan mampu membangun obrolan pada siapapun orang baru yang ku temui (tentu tergantung penerimaan orang tersebut juga). Setelah bingung menentukan akan makan dimana, jatuhlah pilihan kami pada angkringan kecil dipojokan kota yang berada tepat di depan ruko yang sudah tutup. Tak pesan menu banyak, karena jam sudah menunjukan 11 malam, hanya tersisa sebagian makanan dari si pemilik angkringan.

        Obrolan diantara kami mengalir begitu saja, mulai dari pertanyaan yang sama seperti sebelumnya "kenapa lo akhirnya memutuskan untuk tetep berangkat dan mendaki sendirian?", berlanjut kegiatan masing-masing, cuplikan background pertemanan dan keluarga, tujuan hidup, pandangan terhadap pendidikan dan agama, sampai akhirnya di tutup dengan kepribadian. Kebetulan saat itu aku lagi seru-serjnya belajar watak dari dr. Aisah Dahlan, jika kamu pernah dengar namanya sudah pasti kamu paham apa yang sedang ku obrolkan dengan Biyan.

"Kalau dari cerita lu, lu tuh orangnya pemikir ya. Jadi kalau kau memutuskan sesuatu tuh lama karena mikirnya panjang banget" tebak ku tentu dengan materi yang sudah ku pelajari sebelumnya di chanel youtube dr. Aisah Dahlan

"Iyah, kok tau?"

"Itu namanya melankolis, dia gampang kepikiran sama omongan orang alias overthingking, peka terhadap sesuatu, gak enakan, mikirnya lama karena gak mau salah dalam mengambil keputusan"

"Eh haha kok bisa bener si, semuanya gua alamin"

"Kelebihan dia, dia perencana yang handal dan detail. Mengerjakan sesuatu juga rapih"

"Cenayang ya lo?" Ledeknya dengan tawa yang masih menghiasi wajahnya

"Yeee cenayang tuh yang bisa baca pikiran orang"

"Kalau bukan cenayang apa dong?"

"Paranormal" pecah tawa kita berdua di angkringan kecil itu

        Sudah 30 menit lewat tengah malam, kami memutuskan untuk menyudahi pertemuan malam ini. Biyan mengantarkan ku hingga depan pagar rumah, karena seisi rumah sudah pada terlelap jadi Biyan hanya pamit padaku. 

        Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa, tak banyak pesan teks yang terkirim dari Biyan kepada ku begitupun sebaliknya. Sampai ada satu pesan teks yang berasal dari Biyan 3 hari kemudian "Yev, Minggu besok ada acara gak? Gua renacana mau ke gunung Munara sama temen-temen kerjaan. Mau ikut?"

Komentar